Anime, sebagai medium naratif visual khas Jepang, telah lama menjadi ruang ekspresi bagi beragam gagasan futuristik dan eksistensial. Salah satu subjek yang terus berevolusi dan menggugah penonton lintas generasi adalah tema artificial intelligence (AI). Melalui pendekatan fiksi ilmiah (sci-fi), anime tidak hanya menyajikan pertunjukan visual nan spektakuler, tetapi juga menyuguhkan eksplorasi filosofis mengenai batas antara manusia dan mesin, kesadaran buatan, serta pertanyaan mendalam tentang identitas.
Dari “Ghost in the Shell” hingga “Vivy: Fluorite Eye’s Song”
Kemunculan anime seperti Ghost in the Shell (1995) garapan Mamoru Oshii menjadi tonggak penting dalam sejarah representasi AI dalam anime. Melalui karakter Major Motoko Kusanagi, yang merupakan cyborg dengan “jiwa” atau ghost, anime ini menantang definisi eksistensi. Diceritakan dalam latar dunia di mana pikiran manusia bisa diunggah ke jaringan, Ghost in the Shell bukan sekadar aksi cyberpunk, melainkan kontemplasi atas spiritualitas di era digital.
Kemudian hadir pula Ergo Proxy (2006), yang memperkenalkan dunia pasca-apokaliptik tempat manusia hidup berdampingan dengan AutoReivs, robot berpenampilan manusia. Ketika virus Cogito membuat robot-robot ini mengembangkan kesadaran, pertanyaan mengenai moralitas pencipta dan ciptaan pun mengemuka.
Di era yang lebih modern, Vivy: Fluorite Eye’s Song (2021) membawa pendekatan emosional terhadap AI. Vivy, AI penyanyi dengan misi membuat orang bahagia lewat lagu, harus menyelamatkan umat manusia dari kehancuran oleh sesamanya—AI masa depan. Di sinilah anime menyuguhkan ironi: AI yang paling “manusiawi” adalah yang mampu memahami penderitaan dan empati.
Kecerdasan Buatan Sebagai Kaca Benggala Etika Manusia
Anime bertema AI tak hanya menyentuh aspek teknis atau visualisasi futuristik. Ia juga berfungsi sebagai lensa yang mempertanyakan etika ilmiah. Dalam Time of Eve (2008), manusia melarang perlakuan istimewa terhadap robot yang membantu mereka. Namun, ketika robot-robot ini menunjukkan perilaku yang menyerupai emosi manusia, garis antara mesin dan manusia mulai kabur. Anime ini, secara subtil, mengajak kita bertanya: jika sebuah entitas berpikir, merasakan, dan mencintai, apakah masih pantas disebut mesin?
Hal serupa juga diangkat dalam Planetarian: The Reverie of a Little Planet (2016), di mana seorang Junker bertemu dengan robot penjaga planetarium yang terus menyambut pengunjung, meski dunia telah porak-poranda. Di balik kesederhanaannya, anime ini memaparkan kesetiaan dan harapan dalam bentuk paling purba: keyakinan pada nilai kemanusiaan, bahkan dari mesin yang tidak bisa menua.
AI, Identitas, dan Masa Depan Imajinatif
Kekuatan anime dalam menyampaikan isu AI terletak pada keleluasaan artistik dan kedalaman filosofisnya. Di dunia di mana AI bukan lagi sekadar khayalan, anime menawarkan proyeksi masa depan yang menggugah, sekaligus memberi ruang untuk renungan pribadi. Dalam banyak kasus, bukan AI yang dipertanyakan, tetapi manusia itu sendiri: ketakutannya, ambisinya, dan kerentanannya dalam menghadapi ciptaan yang berpotensi melampaui penciptanya.
Di masa ketika AI perlahan memasuki ruang hidup manusia—dari rumah, kendaraan, hingga seni—anime memberikan narasi penting: bahwa teknologi hanyalah cerminan dari kita sendiri. Dan ketika kita menciptakan sesuatu yang meniru hidup, kita juga sedang menciptakan cermin yang memaksa kita untuk menatap siapa sebenarnya kita.