SR

update film anime terbaru sub indonesia dan komik sub indo lengkap

“Solo Leveling” Jadi Anime Terpopuler, Tapi Studio Produksinya Justru Rugi? Ini Penjelasannya

Jakarta – Di tengah derasnya gelombang anime baru yang bermunculan setiap musim, “Solo Leveling” berhasil mencuri perhatian global. Diadaptasi dari web novel Korea Selatan yang fenomenal, serial ini tidak hanya mendulang pujian dari kritikus dan penonton, tetapi juga berhasil memuncaki tren penayangan di berbagai platform streaming. Namun di balik sorotan gemerlap itu, tersembunyi satu fakta mengejutkan: studio produksinya justru mengalami kerugian.

Fakta ini tentu mengundang tanda tanya besar. Bagaimana mungkin salah satu anime terpopuler sepanjang tahun justru tidak menghasilkan keuntungan besar bagi pihak yang memproduksinya?

Fenomena Global, Popularitas Melonjak

Sejak debutnya pada awal 2024, “Solo Leveling” langsung menjadi buah bibir. Dengan animasi memukau, pacing cerita yang dinamis, dan karakter utama yang karismatik, serial ini meraup atensi dari basis penggemar anime Jepang, Korea, hingga Barat.

Tagar #SoloLeveling sempat menjadi trending di Twitter global setiap kali episode baru dirilis. Di Crunchyroll dan platform streaming lain, anime ini konsisten menempati peringkat teratas.

Namun kenyataan pahit mengintai di balik angka-angka fantastis itu.

Studio A-1 Pictures: Pujian Dapat, Untung Tak Terasa?

“Solo Leveling” diproduksi oleh A-1 Pictures, studio ternama asal Jepang yang juga dikenal lewat karya-karya seperti Sword Art Online, 86, dan Kaguya-sama: Love is War. Meski kualitas produksi “Solo Leveling” diakui sangat tinggi, laporan keuangan internal yang beredar di kalangan industri menyebutkan bahwa proyek ini justru tidak memberikan margin keuntungan yang besar — bahkan berpotensi menyebabkan kerugian bersih.

Mengapa bisa begitu?

Menurut analis industri hiburan Jepang, Takeshi Miyamoto, penyebab utamanya terletak pada struktur bisnis produksi anime Jepang yang masih konservatif.

“Banyak orang di luar industri tidak tahu bahwa studio produksi seperti A-1 Pictures biasanya dibayar tetap (‘fixed fee’) untuk satu musim produksi, tanpa mendapat bagian dari penjualan lisensi atau merchandise,” jelasnya.

Artinya, meskipun “Solo Leveling” laris di pasaran dan lisensinya dijual ke berbagai negara, keuntungan utama justru dinikmati oleh komite produksi, bukan oleh studio yang mengerjakannya secara langsung.

Sistem Komite Produksi: Pisau Bermata Dua

Dalam industri anime Jepang, sistem yang dikenal sebagai “production committee” menjadi model dominan. Dalam sistem ini, beberapa pihak (biasanya perusahaan penerbit, distributor, pemegang lisensi, label musik, dan lain-lain) berinvestasi dalam proyek anime. Mereka kemudian membentuk komite yang memegang hak penuh atas semua aspek keuangan dan distribusi.

Studio animasi seperti A-1 Pictures biasanya hanya bertugas sebagai eksekutor produksi, yang dibayar sekali di awal proyek. Artinya, walau anime yang mereka buat sukses luar biasa, mereka tidak mendapat bagian dari hasil penjualan global, iklan, atau merchandise — kecuali mereka menjadi anggota komite (yang jarang terjadi).

“Kalau kamu bukan bagian dari komite produksi, kamu tidak mendapat royalti. Titik,” tegas Miyamoto.

Biaya Produksi Tinggi, Deadline Ketat

Produksi “Solo Leveling” juga tergolong ambisius dan kompleks. Banyak adegan aksi dengan efek visual berat, animasi fluid dalam pertarungan, serta latar kota futuristik yang penuh detail — semua itu membutuhkan tenaga kerja besar dan waktu produksi lebih lama dari anime rata-rata.

Belum lagi tekanan dari basis penggemar global yang menuntut kualitas setara anime blockbuster seperti Demon Slayer atau Jujutsu Kaisen.

“Waktu produksinya mepet. Banyak staf yang harus lembur berminggu-minggu,” ungkap seorang animator freelance yang terlibat di proyek tersebut dalam wawancara anonim di forum industri.

Dengan biaya tinggi dan beban kerja besar, bayaran tetap dari komite tidak cukup untuk menutup pengeluaran jangka panjang studio, apalagi jika proyek berikutnya belum dijamin.

Solusi? Ekosistem Harus Berubah

Kasus “Solo Leveling” menunjukkan ironi yang sering terjadi dalam industri anime: karya fenomenal tak selalu berarti pemasukan besar bagi para pembuatnya. Hal ini memicu seruan dari banyak pihak agar sistem komite produksi ditinjau ulang, atau agar studio-studio besar mulai berinvestasi sendiri dalam proyek-proyek tertentu demi mendapat bagian dari keuntungan jangka panjang.

Beberapa studio seperti Ufotable dan MAPPA sudah mulai berinovasi dengan pendekatan baru, mengambil bagian dari hak distribusi atau bahkan mendirikan cabang bisnis merchandise sendiri.

Apakah A-1 Pictures dan studio lain akan menyusul? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun satu hal pasti: jika industri tak berubah, tak mustahil akan muncul lebih banyak kisah sukses pahit seperti “Solo Leveling” — anime yang populer di mata dunia, tapi menyisakan luka di balik layar.

Share: Facebook Twitter Linkedin
Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *